Minggu, 27 Oktober 2013

Sek sualitas Laki-Laki Dan Perempuan

Kesadaran orang Bugis mengenai eksistensi seksualitas sebagai sesuatu yang fundamental[1] pada diri manusia  telah dijumpai dalam mitologi I La Galigo. Dalam cerita  I La Galigo[2] dikisahkan tentang seorang putra lajang turunan bangsawan botillangiq (langit) bernama Batara Guru yang diutus olehDewata (Tuhan) ke allĂ©lino (bumi) yang masih kosong sebagai penghuni pertama. Baru tujuh hari tujuh malam di bumi serta-merta Batara Guru didera perasaan “kesepian” yang tak terkira, sehingga ia memohon kepada Dewata agar diperkenankan kembali ke langit. Namun keadaan segera berubah setelah putri We Nyiliqtimo datang dari dunia bawah (uriqliu) untuk menemani sekaligus menjadi istrinya. Kesepiannya pun hilang seketika. Batara Guru pun kerasan tinggal di bumi sampai akhirnya mereka melahirkan anak-cucu sebagai cikal-bakal penghuni bumi (Luwu ).     Manuskrip atau lontara Bugis yang secara khusus mengemas masalah seksualitas sampai hal yang paling subtansif dikenal dengan nama lontara Assikalaibineng. Manuskrip ini menyajikan pengetahuan seks mulai dari konsep filosofi seks, pengetahuan alat reproduksi, tahapan atau prosedur hubungan, doa-doa, mantra-mantra, teknik perangsangan, posisi dan gaya persetubuhan, teknik sentuhan, penentuan jenis kelamin anak, pengendalian kehamilan, waktu baik dan buruk dalam  persetubuhan, tatacara pembersihan tubuh, pengobatan  kelamin, serta perilaku-perilaku  seksual lainnya (Hadrawi, 1999 dan 2006). Lontara seks Bugis ini dapat disejajarkan dengan kitab seks lain seperti Serat Centini dan Serat Nitimani dalam masyarakat Jawa, Kama Sutra pada masyarakat India, dan Ars Amatoria (The Art of Love) pada bangsa Romawi.  Tidak jauh berbeda dengan kitab seks lainnya, Assikalaibineng secara khusus juga mengajarkan aspek-aspek seksualitas sampai pada hakekat atau derajat pemahaman seksual yang paling tinggi dan ideal terhadap manusia.
          Secara historis, sejak sekitar abad XVII, tasawuf Islam telah berkembang di tengah masyarakat Bugis-Makassar. Pada saat itu, Assikalaibineng telah melembaga dalam masyarakat terutama pada kalangan bangsawan, aristokrat, dan kaum santri.  Kepemilikan pengetahuan Assikalaibineng dalam masyarakat relatif terkait dengan sistem genealogi keluarga atau kelompok tarekat keagamaan. Pewarisan pengetahuan Assikalaibineng melalui media lisan yang ditransfer kepada seseorang lazimnya dilakukan ketika ia akan memasuki perkawinan. Pengetahuan Assikalaibineng yang diperoleh itu kemudian menjadi bekal untuk praktik seks yang dianggap benar dan bermutu. Namun, sajian pengetahuan seks yang lebih lengkap dan utuh secara rinci terdokumentasi dalam lontaraAssikalaibineng.
          Assikalaibineng bagi masyarakat Bugis merupakan teks yang bersifat practical knowledge, sebab pengetahuan yang ada di dalamnya dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (Roger Tol, 1993). Dalam sistem kebudayaan Bugis ia terposisikan sebagai pengetahuan positif yang bermanfaat bagi pembinaan kehidupan seksual keluarga. Teksnya memberikan wawasan pada manusia bahwa seks tidak  sekadar berdimensi biologis, tetapi juga berdimensi psikologis, sosial, serta spiritual. Terkait dengan itu maka seks tidak sekadar dipahami dalam proporsi sebagai kesadaran biologis belaka, tetapi telah menjadi bagian dari sistem sosial yang didasari oleh seperangkat nilai agama (Islam) dan budaya Bugis.
          Kenyataan mengungkapkan bahwa teks-teks tradisional pada umumnya yang disublimasi oleh doktrin-doktrin keagamaan relatif tidak memberikan “ruang” setara dan adil bagi perempuan. Teks yang secara khusus mengandung relasi suami istri (seksualitas), kerapkali menyimpan konsep “relasi kuasa” dengan memosisikan istri (perempuan) sebagai pihak yang ternegasikan baik pada sektor domestik (rumah tangga) maupun pada sektor publik (lingkungan sosial).  Di pihak lain, laki-laki digambarkan sebagai “penguasa”, sedangkan perempuan sebagai “rakyat”. Sistem relasi yang timpang itu kemudian memunculkan potensi terjadinya tindak kekerasan terhadap kaum perempuan. Kitab Uqud al-Lujayn karya Syaikh Nawawi dari Banten misalnya menyebutkan, laki-laki diperkenankan memukul istri jika tidak mematuhi aturan yang dikehendaki suami. Tak berbeda dengan cerita seperti I Daramatasia di Sulawesi Selatan yang juga mengandung tema yang bias jender  dengan menggambarkan perempuan sebagai makhluk lemah. Tokoh istri terposisikan sebagai “hamba” atau “pelayan” atas kebutuhan dan tirani suami. Doktrin teks seperti ini, yang dikenal bernuansa agama, secara literal turut mengambil andil mengkonstruksi ideologi yang merugikan kaum perempuan, karena mengajarkan sekaligus melegitimasi paham dominasi laki-laki terhadap perempuan.
         Tulisan ini akan  mengupas konstruksi gender secara spesifik pada fenomena seksual dalam manuskrip seks Bugis dengan berangkat dari sebuah pertanyaan: “bagaimana kedudukan laki-laki dan perempuan melalui konstruksi identitas dan peran gender dalam aktivitas seks menurut Assikalaibineng?